AL-BALAGHAH: Ilmu Bayan
A. Pengantar
• Bayaan secara leksikal bermakna ‘terang’ atau ‘jelas’. Secara terminologi: ilmu untuk mengetahui bagaimana mengungkapkan gagasan ke dalam bahasa yang bervariasi
• Kalam yang fasih adalah kalam yang terhindar dari tanaafur al-huruf, gharabah, dan mukhalafah al-qiyaas dalam kata-katanya, serta kalimat-kalimat yang diungkapkan tidak bersifat tanaafur, dha’fu al-ta’lif, dan ta’qid lafdzi
• Tanaafur al-huruf: kata-kata yang sukar diucapkan
• Gharabah: ungkapan yang terdiri atas kata-kata yang asing, jarang dipakai, dan tidak diketahui oleh orang banyak
• Mukhaalafah al-Qiyaas: kata-kata yang menyalahi atau tidak seuai dengan kaidah umum ilmu sharf
• Dha’fu al-ta’lif: susunan kalimat yang lemah, sebab menyalahi kaidah umum nahwu/sharf
• Ta’qid lafzhi (kerancuan pada kata-kata): ungkapan kata-katan tidak menunjukkan tujuan karena ada cacat dalam susunannya
• Ta’qid ma’nawi: kerancuan makna
• Mutakallim fasih: orang yang dapat menyampaikan maksudnya dengan ucapan yang fasihah (baik dan benar)
• Balaghah: Ilmu yang mempelajari kefasihan berbahasa yang meliputi ilmu ma’aani, bayan, dan badi’
• Bidang kajian ilmu bayaan meliputi: tasybih, majaz, dan kinayah
B. Tasybih
• Tasybih secara leksikal bermakna ‘perumpamaan’. Secara terminologi: menyerupakan sesuatu dengan yang lain karena adanya kesamaan dalam satu atau beberapa sifat dengan menggunakan alat/adat
• Tasybih termasuk uslub bayaan yang di dalamnya terdapat penjelasan dan perumpamaan.
• Tasybih terdiri atas empat bentuk:
o Mengeluarkan sesuatu yang tidak dapat diindera dan menyamakannya dengan sesuatu yang bisa diindera.
o Mengeluarkan/mengungkapkan
sesuatu yang tidak pernah terjadi dan mempersamakannya dengan sesuatu yang terjadi
o Mengungkapkan sesuatu yang tidak jelas dan mempersamakannya dengan sesuatu yang jelas
o Mengungkapkan sesuatu yang tidak mempunyai kekuatan dan mempersamakannya kepada sesuatu yang memiliki kekuatan dalam hal sifat
• Tasybih merupakan langkah awal untuk menjelaskan suatu makna dan sarana untuk menjelaskan sifat
• Rukun tasybih:
o Musyabbah: sesuatu yg hendak diserupakan
o Musyabbah bih: sesuatu yang diserupai
o Wajh syibh: Sifat yang terdapat pada kedua pihak
o Adat tasybih: huruf atau kata yang digunakan untuk menyatakan penyerupaan
• Jenis-jenis tasybih:
o Ditinjau dari ada tidaknya alat tasybih
- Tasybih mursal: yang adat tasybihnya disebutkan
- Tasybih muakkad: yang dibuang adat tasybihnya
o Ditinjau dari ada tidaknya wajh syibh
- Tasybih mufashshal: Disebut wajh syibh nya
- Tasybih mujmal: Dibuang wjh syibhnya
o Dilihat dari segi ada tidaknya adat dan wajh syibh
- Tasybih baligh: Dibuang adat tasybih dan wajh syibhnya
- Tasybih ghair baligh: Kebalikan dari tasybih baligh
o Dilihat dari bentuk wjh syibhnya
- Tasybih Tamtsil: Keadaan wajh syibhnya terdiri atas gambaran yang dirangkai dari keadaan beberapa hal
- Tasybih ghair tamtsil: wajh syibhnya tidak terdiri dari rangkaian gambaran beberapa hal. Wajh syibhnya terdiri atas satu hal (mufrad). Tasybih ini kebalikan dari tasybih tamtsil.
• Tasybih yang keluar dari kebiasaan:
o Tasybih maqluub: jenis tasybih yang posisi musyabbahnya dijadikan musyabbah bih, sehingga yang seharusnya musyabbah dijadikan musyabbah bih, dan yang seharusnya musyabbah bih dijadikan musyabbah dengan anggapan wajh syibh pada musyabbah lebih kuat
o Tasybih dhimni: tasybih yang keadaan musyabbah dan mysyabbah bih nya tidak jelas (implisit). Kita bisa menetapkan unsur musyabbah dan musyabbah bih pada tasybih jenis ini setelah kita menelaah dan memahaminya secara mendalam
• Maksud dan tujuan tasybih:
o Menjelaskan kemungkinan adanya sesuatu hal pada musyabbah
o Menjelaskan keadaan musyabbah
o Menjelaskan kadar keadaan musyabbah
o Menegaskan keadaan musyabbah
o Memperindah atau memperburuk musyabbah
C. Majaz
• Majaz secara leksikal bermakna melewati. Secara terminologi: Kata yang digunakan bukan untuk makna yang sebenarnya karena adanya ‘alaqah disertai adanya qarinah yang mencegah dimaknai secara hakiki
• Majaz (konotatif) merupakan kebalikan dari hakiki (denotatif)
• Makna hakiki: makna asal dari suatu lafal atau ungkapan yang pengertiannya dipahami orang pada umumnya. Lafal atau ungkapan itu lahir untuk makna itu sendiri.
• Majazi: perubahan makna dari makna asal ke makna kedua. Makna ini lahir bukan untuk pengertian pada umumnya. Dalam makna ini ada proses perubahan makna.
• Muraadif atau munaasabah tdk dikatakan memiliki makna majazi karena di dalamnya tidak ada perubahan dari makna asal kepada makna baru
• Suatu teks bisa dinilai mengandung makna haqiqi jika si penulis menyatakan secara jelas bahwa maksudnya sesuai dengan makna asalnya; atau tidak adanya qarinah-qarinah (indikator) yang menunjukkan bahwa teks tsb mempunyai makna majazi.
• Jika ada qarinah-qarinah yang menunjukkan bahwa lafal atau ungkapan tidak boleh dimaknai secara haqiqi, maka kita harus memaknainya secara majazi
• Ungkapan majaz muncul disebabkan:
o Sabab lafzhi: lafal-lafal tsb tidak bisa dan tidak boleh dimaknai secara hakiki. Jika dimaknai haqiqi maka akan muncul pengertian yang salah. Qarinah pada ungkapan majaz jenis ini bersifat lafzhi pula
o Sabab takribi (isnadi): ungkapan majazi terjadi bukan karena lafal-lafalnya yang tidak bisa dipahami secara hakiki, akan tetapi dari segi penisbatan. Penisbatan fi’il kepada failnya tidak bisa diterima secara rasional dan keyakinan
• Makna haqiqi: makna yang dipakai menurut makna yang seharusnya.
• Makna majazi: kata yang dipakai bukan pada makna yang semestinya karena ada alaqah (hubungan) dan disertai qarinah (lafal yang mencegah penggunaan makna asli).
• Majas pada garis besarnya terdiri atas majas lughowi dan majaz aqli.
• Majas lughowi: majas yang alaqahnya atau illah nya didasarkan pada aspek bahasa
• Majas aqli adalah penisbatan suatu kata fi’il (verba) kepada fa’il yang tidak sebenarnya
• Majas lughowi terdiri atas majaz isti’arah dan majaz mursal:
o Majaz isti’arah: yang alaqahnya (hubungan) antara makna asal dan makna yang dimaksud adalah musyaabahah (keserupaan).
o Majaz mursal: majaz yang alaqahnya ghair musyabbah (tidak saling menyerupai)
• Majaz isti’arah adalah tasybih yang dibuang salah satu tharafain nya (musyabbah atau musyabbah bih nya) dan dibuang pula wajh syibh dan adat tasybihnya
• Dalam isti’arah: musyabbah dinamai musta’ar lah dan musyabbah bih dinamai musta’ar minhu. Lafal yang mengandung isti’arah dinamakan musta’ar dan wajh syibh nya dinamakan jami’. Qarinahnya ada dua yaitu qarinah mufrad dan qarinah jama’
• Ditinjau dari musta’ar lah dan musta’ar minhu, majaz isti’arah ada dua kategori:
o Isti’arah tashriihiyyah: yang ditegaskan (ditashrih) adalah musta’ar minhu nya sedangkan musta’ar lah nya dibuang. Dengan istilah lain: musyabbah bihnya disebut, dan musyabbahnya dibuang
o Isti’arah makniyyah: yang dibuang adalah musta’ar minhu, atau dengan kata lain musyabbah bihnya dibuang.
• Ditinjau dari segi bentuk lafalnya:
o Isti’arah ashliyah: jenis majaz yang lafal musta’ar nya isim jami bukan musytaq (bukan isim sifat)
o Isti’arah taba’iyyah: jenis majaz yang musta’arnya fi’il, isim musytaq atau harf
• Ditinjau dari kata yang mengikutinya:
o Isti’arah murasysyahah: ungkapan majaz yang diikuti oleh kata-kata yang cocok untuk musyabbah bih
o Isti’arah muthlaqah: yang tidak diikuti oleh kata-kata, baik yang cocok bagi musyabbah bih mauapun musyabbah
o Isti’arah mujarradah: yang disertai dengan kata-kata yang cocok bagi musyabbah
• Majas mursal: majaz yang alaqahnya ghair musyaabahah (tidak saling menyerupai). Alaqah antara musta’ar dan musta’ar minhu dalam bentuk:
o Sababiyah: ini sebagai salah satu indikator majaz mursal. Menyebutkan sebab sesuatu, sedangkan yang dimaksud adalah sesuatu yang disebabkan
o Musababiyyah: Ini indikator kedua. Menyebutkan sesuatu yang disebabkan, sedangkan yang dimaksud adalah sebabnya
o Juz’iyyah: Menyebutkan bagian dari sesuatu, sedangkan yang dimaksudkannya adalah keseluruhannya
o Kulliyah: Menyebutkan sesuatu keseluruhannya, sedangkan yang dimaksudkannya adalah sebagiannya
o I’tibaaru maa kaana: Menyebutkan sesuatu yang telah terjadi, sedangkan yang dimaksudkannya adalah yang akan terjadi atau yang belum terjadi
• I’tibaaru maa yakuunu: Menyebutkan sesuatu dengan keadaan yang akan terjadi, sedangkan yang dimaksudkannya adalah keadaan sebelumnya
o Mahaliyyah: Menyebutkan tempat sesuatu, sedangkan yang dimaksudkannya adalah menempatinya
o Haliyyah: menyebutkan keadaan sesuatu, sedangkan yang dimaksudkannya adalah yang merasakan keadaan itu
o Aliyah: apabila disebutkan alatnya, sedangkan yang dimaksudkan adalah sesuatu yang dihasilkan oleh alat tersebut
• Majaz aqli: menyandarkan fi’il (verba) atau yang semakna dengannya kepada yang bukan seharusnya karena ada alaqah (hubungan) serta adanya qarinah yang mencegah dari penyandaran yang sebenarnya.
• Penyandaran fi’il atau yang semakna dengannya dilakukan kepada:
o Sebab
o Penisbatan kepada waktu
o Penisbatan kepada tempat
o Penisbatan kepada mashdar
o Mabni maf’ul disandarkan kepada isim fa’il
o Mabni fa’il disandarkan kepada isim maf’ul
D. Kinayah
• Kinayah secara leksikal bermakna ‘ucapan yang berbeda dengan maknanya. Secara etimologis: suatu kalam yang diungkapkan dengan pengertiannya yang berbeda dengan pengertian umumnya, dengan tetap dibolehkan mengambil makna hakikinya
• Kinayah pada awalnya bermakna dhamir, irdaf, isyarah, isim maushul, laqab, badal, dan tikrar. Sekarang mempunyai pengertian seperti di atas
• Perbedaan antara majaz dan kinayah terletak pada hubungan antara makna hakiki (denotatif) dengan makna majazi (konotatif). Pada ungkapan berbentuk majaz, teks harus dimaknai secara majazi dan tidak boleh dimaknai secara hakiki. Sedangkan pada ungkapan kinayah, teks harus dimaknai dengan makna yang berbeda dengan lazimnya dengan tetap dibolehkan mengambil makna hakikinya.
• Ilmu balaghah mengalami perkembangan sampai pada akhirnya para ahli balaghah bersepakat bahwa kinayah adalah “suatu ungkapan yang diucapkan dengan pengertiannya yang lazim, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan dipahami dalam pengertiannya yang asal
• Dari segi makna kinayah dibagi menjadi tiga: kinayah sifah, kinayah maushuf, dan kinayah nisbah
• Kinayah sifah adalah pengungkapan sifat tertentu tidak dengan jelas, melainkan dengan isyarah atau ungkapan yang dapat menunjukkan maknanya yang umum. Istilah shifah dalam ilmu balaghah berbeda dengan shifah pada ilmu nahwu. Sifat sebagai salah satu karakteristik kinayah berarti sifat dalam pengertiannya yang maknawi (seperti: kedermawanan, keberanian, panjang, keindahan, dan sifat-sifat lain yang merupakan lawan dari zat)
• Kinayah shifah mempunyai dua jenis:
o Kinayah qariibah: perjalanan makna dari lafal yang dikinayahkan (makny anhu) kepada lafal kinayah tanpa melalui media
o Kinayah baa’idah: perpindahan makna dari makna lafal-lafal yang dikinayahkan (makny anhu) kepada makna pada lafal-lafal kinayah memerlukan lafal-lafal lain untuk menjelaskannya.
• Kinayah maushuf: apabila yang menjadi makny anhu nya atau lafal-lafal yang dikinayahkan adalah maushuf (dzat). Ada dua jenis kinayah maushuf:
o Kinayah yang makny anhu nya (lafal yang dikinayahkan) diungkapkan hanya dengan satu ungkapan
o Kinayah yang makny anhu nya diungkapkan dengan ungkapan-ungkapan yang banyak. Pada jenis kinayah ini, sifat-sifat tsb harus dikhususkan untuk maushuf, tdk untuk yang lainnya.
• Kinayah nisbah: apabila lafal yang menjadi kinayah bukan merupakan sifat dan bukan pula merupakan maushuf, akan tetapi merupakan hubungan sifat dan maushuf
• Dari aspek wasaaith (media; lafal-lafal atau makna-makna yang menjadi media atau penyambung dari makna hakiki kepada makna majazi) kinayah dibagi menjadi tiga: kinayah ta’ridh, talwih, imaa atau isyarah, dan ramz
• Kinayah ta’riidh (sindiran): secara leksikal bermakna ‘sesuatu ungkapan yang maknanya menyalahi lahirnya lafal. Secara terminologi: suatu ungkapan yang mempunyai makna yang berbeda dengan makna sebenarnya. Pengambilan makna tersebut didasarkan kepada konteks pengucapannya
• Zarkasyi: Ta’ridh adalah pengambilan makna dari suatu lafal melalui mafhum (pemahaman konteks). Dinamakan ta’ridh karena pengambilan makna didasarkan pada pemaparan lafal atau konteksnya
• Zamakhsyari: Antara kinayah dan ta’ridh terdapat perbedaan. Kinayah berarti menyebutkan sesuatu bukan dengan lafal yang ditunjukkannya. Sedangkan ta’ridh menyebutkan suatu lafal yang menunjuk pada suatu makna yang tidak disebutkannya
• Ibn Al-Atsir: Ta’ridh lebih mementingkan makna dengan meninggalkan lafal
• Syakaki: Ta’ridh selain terdapat pada kinayah juga terdapat pada majaz
• Talwih secara bahasa bermakna ‘engkau menunjuk orang lain dari kejauhan’. Secara terminologi: Talwih adalah jenis kinayah yang di dalamnya terdapat banyak wasaaith (media) dan tidak menggunakan ta’ridh (Bakri Syeikh Amin)
• Zarkasyi: Talwih adalah seorang mutakallim memberi isyarah kepada pendengarnya pada sesuatu yang dimaksudkannya
• Imaa atau isyaarah: Kinayah jenis ini merupakan kebalikan dari talwih. Di dalam imaa, perpindahan makna dari makna asal kepada makna lazimnya terjadi melaui media (wasaaith) yang sedikit. Pada kinayah ini, makna lazimnya tampak dan makna yang dimaksud juga dekat
• Ramz: Secara bhs ramz berarti isyaarah dengan dua bibir, dua mata, dua alis, mulut, tangan dan lisan. Isyarah-isyarah tsb biasanya dilakukan dengan cara tersirat. Secara istilah: ramz adalah jenis kinayah dengan media (wasaaith) yang sedikit dan lazimnya tersirat. Dengan kata lain, ramz adalah isyaarah kepada sesuatu yang dekat dengan anda secara tersirat. Ramz menyerupai bahasa sandi. Orang Arab menyebutnya ‘Lahn’ atau ‘malaahin’
• Tujuan Kinayah:
o Menjelaskan (Al-Idhaah)
o Memperindah makna
o Menjelaskan sesuatu
o Mengganti dengan kata-kata yang sebanding karena dianggap jelek
o Menghindari kata-kata yang dianggap malu untuk diucapkan
o Peringatan atas keagungan tuhan
o Untuk mubalaghah (hiperbola)
o Untuk meringkas kalimat
• Hubungan kinayah dan majaz:
o Persamaan antara majaz dan kinayah, keduanya sama-sama berkaitan dengan makna yang tsawaani (majazi). Sedangkan perbedaannya terletak pada qarinah.
o Qarinah dalam ilmu balaghah adalah suatu ungkapan baik eksplisit maupun implisit yang ada pada suatu kalam (wacana) yang menunjukkan bahwa makna yang dimaksud pada ungkapan tersebut bukan makna haqiqi.
o Qarinah ada dua: qarinah lafdziyyah dan qarinah ma’nawiyyah
- Qarinah lafdziyyah adalah qarinah yang berbentuk lafal-lafal. Jika dalam suatu kalam terdapat satu kata atau lebih yang menunjukkan bahwa makna dalam kalam itu bukan makna haqiqi, maka dia disebut qarinah lafdhiyyah
- Qarinah ma’nawiyah adalah qarinah yang menunjukkan bahwa makna kalam itu bukan hakiki dengan tersirat
o Pada majaz, qarinah bisa bersifat lafdziyyah dan bisa juga bersifat ma’nawiyyah; sedangkan pada kinayah qarinahnya harus tersirat
o Pada majaz, qarinah mencegah pengambilan makna haqiqi; sedang pada kinayah, qarinah tidak mencegah untuk mengambil makna haqiqi.
o Para pakar balaghah berpendapat qarinah pada ungkapan majaz mengharuskan kita mengambil makna majazi dan meninggalkan makna hakikinya
o Pakar ushul fiqh berpendapat tidak ada perbedaan antara qarinah pada majaz dan kinayah, boleh antara mengambil makna haqiqi dan majazi
o Qazwaini: Antara majaz dan kinayah terdapat perbedaan. Pada majaz mesti ada qarinah yang menolak makna haqiqi
o Syakaki: Pada majaz, perpindahan makna terjadi dari malzuum kepada laazim. Pada kinayah, perpindahan makna dari laazim kepada malzuum. Selain itu, kelaziman itu sendiri merupakan kekhasan yang ada pada kinayah
• Hubungan Kinayah dan Irdaaf (sinonim):
o Menurut pakar ilmu bayaan, esensi dari kinayah merupakan irdaaf
o Menurut pakar badi’: irdaaf berbeda dengan kinayah. Kinayah adalah menetapkan salah satu dari beberapa makna dengan tidak menggunakan lafal yang seharusnya, akan tetapi menggunakan sinonimnya sehingga pengambilan maknanya cenderung kepadanya
• Suyuti: Salah satu dari jenis badi’ yang menyerupai kinayah adalah irdaaf yaitu seorang mutakallim ingin mengungkapkan sesuatu, akan tetapi tidak menggunakan lafal yang seharusnya dan tidak pula ada isyaarah yang menunjukinya. Lafal yang digunakannya adalah sinonim dari lafal yang seharusnya
• Pendapat lain tentang irdaaf dan kinayah: irdaaf berpindah dari yang disebutkan kepada yang ditinggalkan; sedangkan kinayah maknanya berpindah dari yang lazim kepada yang malzum
• Perbedaan Kinayah dan Ta’ridh:
o Zamakhsary: Kinayah adalah menyebutkan sesuatu bukan dengan menggunakan lafal yang seharusnya. Sedangkan ta’ridh adalah mengungkapkan makna sesuatu dengan tidak menyebutkannya
o Ibn Atsir: Kinayah adalah suatu ungkapan yang mengandung makna haqiqi dan majazi dengan gambaran yang mencakup keduanya. Sedangkan ta’ridh adalah suatu ungkapan yang mengandung makna dengan tidak melihat dari sisi haqiqi dan majazinya
o Subky: Kinayah adalah lafal yang digunakan pada makna lazimnya, yaitu cukup dengan menggunakan lafalnya yang mengandung makna haqiqi dan juga mengandung makna yang tidak terdapat pada teksnya
o Syakaki: Ta’ridh adalah konteks yang menggambarkan sesuatu yang tidak disebutkan. Seseorang menyebut sesuatu, akan tetapi dia memaksudkan untuk yang lainnya. Dengan demikian dinamakan ta’ridh karena memiringkan kalam kepada sesuatu yang ditunjuknya
o Thiby menyatakan bahwa ta’ridh adalah mengungkapkan sesuatu dengan tujuan:
- Menjelaskan sesuatu yang ada di sisinya
- Menghaluskan
- Lil istidraj (menundukkan musuh)
- Untuk mencela
- Untuk merendahkan
o Syubki: Ta’ridh itu ada dua macam. Pertama ungkapan yang mengandung makna hakiki akan tetapi tersirat makna lainnya yang dimaksud. Kedua ungkapan yang tidak dimaksudkan ungkapan hakikinya
Balagoh In Bayan
3:21 PM
Rizky Garut