AL-BALAGHAH: Ilmu Ma'ani
A. Pengertian
• Ma’aani jamak dari ma’na, secara leksikal berarti arti
• Secara istilah: ilmu untuk mengetahui hal ihwal lafal bahasa yang sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi
• Objek kajiannya hampir sama dengan ilmu nahwu. Hanya kalau ilmu nahwu membahas makna yg lebih bersifar mufrad, sedang ma’ani lbh besifat tarkibi
B. Kajian
• Kalimat dan bagian-bagiannya
o Musnad – musnad ilaih
o Fi’il – mutaallaq
• Jumlah
o Fashal
o Washal
o Ijaz
o Ithnab
o musawat
Lebih rinci meliputi 8 macam kajian:
o Ihwal Isnad Khabary
o Ihwal musnad ilaih
o Ihwal musnad
o Ihwal mutaaliqaatul fi’li
o Al-Qashr
o Al-Insya’
o Alfashal dan alwashal
o Al-Ijaaz, al-ithnaab, dan al-musaawah
Jumlah = Kalimat
1. Jumlah Ismiyah
• Ismiyah : suatu jumlah (kalimat) yang terdiri atas mubtada’ dan khabar.
• Fungsi jumlah ismiyah adalah menetapkan sesuatu hukum pada sesuatu.
• Jumlah ini tidak berfungsi untuk tajaddud/pembaruan dan istimrar/kontinuitas (terutama yang khabarnya berbentuk fa’il atau isim maf’ul.
• Jika khabarnya berbentuk fi’il, maka mengandung dimensi waktu (bisa lampau, sekarang, atau yang akan datang)
• Jumlah ismiyah (kalimat nominal), mubtada’ ditempatkan di awal kalimat sedangkan khabar ditempatkan sesudahnya
• Jika mubtada berbentuk nakirah (indefinitive) dan khabar berupa frase preposisi, maka khabar didahulukan
2. Jumlah Fi’liyah
• Jumlah fi’liyah: kalimat yang terdiri atas fi’il dan fa’il atau fi’il dan naibul fa’il
• Mengandung makna pembatasan waktu (lampau. Sedang, akan). Setiap fi’il hanya ada satu pembatas waktu.
• Waktu pada fi’il tdk perlu ada qarinah lafdziyah
• Penanda waktu pada isim perlu qarinah lafdhiyah
• Fi’il juga bisa menunjukkan makna tajaddud
• Jumlah fi’liyah juga bisa menunjukkan adanya perubahan secara berkesinambungan dan bertahap sesuai konteks dan indikatornya (syarat fi’ilnya berupa mudhari’)
• Pada jumlah fi’liyah (kalimat verbal), fi’il (verba) dapat berbentuk aktif dan pasif.
• Karakteristik jumlah fi’liyah tergantung kepada fi’il. Fi’il madhi membentuk karakter (baik positif maupun negatif). Sedangkan fi’il mudhari’ membentuk tajaddud (pembaharuan)
• Selain struktur, kalimat juga bisa digolongkan dari segi isi. Dari segi isi, baik jumlah ismiyah maupun fi’liyah ada kita sebut jumlah mutsabatah (kalimat positif) dan jumlah manfiyah (kalimat negatif).
• Jumlah mutsabatah (kalimat positif) ialah kalimat yang menetapkan keterkaitan antara subjek dan predikat (baik dalam jumlah ismiyah maupun jumlah fi’liyah)
• Jumlah manfiyah (kalimat negatif ialah kalimat yang menegasikan/meniadakan hubungan antara subjek dan predikat
IHWAL MUSNAD DAN MUSNAD ILAIH
• Jumlah (kalimat) paling tidak terdiri dari atas dua unsur. Kedua unsur itu dalam ilmu ma’aani adalah musnad dan musnad ilaih.
• Dalam ilmu ushul fiqh: musnad = mahkum bih. Musnad ilaih = mahkum ilaih
• Dlm gramatika Arab ada umdah = pokok dan fadlah = pelengkap. Fadllah = qayyid (dalam ma’aani)
• Posisi musnad dan musnad ilaih bervariasi tergantung bentuk jumlah/kalimat dan posisinya dalam kalimat
• Kaitan antara musnad dan musnad ilaih dinamakan isnad.
• Isnad: penisbatan suatu kata dengan kata lainnya sehingga memunculkan penetapan suatu hukum atas yang lainnya baik bersifat positif maupun negatif.
A. MUSNAD ILAIH
• Secara leksikal = yang disandarkan kepadanya.
• Secara istilah = mubtada yang mempunyai khabar, fa’il, naibul fa’il, dan beberapa isim dari amil nawasikh.
• Pengertian lain = kata/kata-kata yang kepadanya dinisbatkan suatu hukum, pekerjaan, dan keadaan
• Posisi musnad ilaih dalam kalimat:
• Fa’il
• Naib fa’il
• Mubtada’
• Ismu “kaana” dan sejenisnya
• Ismu “inna” dan sejenisnya
• Maf’ul pertama “dhanna” dan sejenisnya
• Maf’ul kedua dari “ra’aa” dan sejenisnya
B. MUSNAD
• Musnad = sifat, fi’il, atau sesuatu yang bersandar kepada musnad ilaih.
• Musnad berada pada tempat-tempat:
o Khabar mubtada
o Fi’il tam
o Isim fiil
o Khabar “kaana” dan sejenisnya
o Khabar “inna” dan sejenisnya
o Maf’ul kedua dari “dhanna” dan sejenisnya
o Maf’ul ketiga dari “ra’aa” dan sejenisnya
C. Mema’rifatkan Musnad Ilaih
• Dengan Isim alam
• Dengan dhamir
• Dengan isim isyarah
• Dengan isim maushul
• Dengan “Al”
• Dengan idhofah
• Dengan nida’
• Mema’rifatkan dengan isim alam:
o Menghadirkan zat pada ingatan pendengar
o Memuliakan/menghinakan musnad ilaih
o Optimis/mengharap yang baik
• Mema’rifatkan dengan dhomir
o Dhamir mutakallim
o Dhamir mukhattab
o Dhamir ghaib
• Mema’rifatkan dengan isim isyarah
o Menjelaskan keadaan musnad ilaih (jauh, sedang, dekat)
o Mengingatkan bhwa musnad ilaih layak memiliki sifat-sifat yang akan disebut
o Mengungkapkan derajat musnad ilaiah (dekat, sedang, jauh)
o Menampakkan rasa aneh
o Menyindir kebodohan mukhatthab
o Mengingatkan bahwa yang diisyarahkan pantas menyandang sifat-sifat tertentu.
• Mema’rifatkan dengan isim maushul:
o Tidak baik kalau dengan cara jelas
o Mengagungkan
o Menumbuhkan keingin tahuan
o Merahasiakan sesuatu dari selain mukhatthab
o Mengingatkan kesalahan mukhatthab
o Mengingatkan kesalahan selain mukhatthab
o Mengagungkan kedudukan mahkum bih
o Mengejutkan: mengagungkan/menghina
o Tidak etis menyebut nama diri
o Menentukan pahala/siksa
o Mencela
o Menunjukkan keseluruhan
o Menyamarkan
• Mema’rifatkan dengan “al”
o Mengisyarahkan kenyataan sesuatu, maknanya terlepas dari kaidah umum – khusus
o Mengisyarahkan hakikat yang samar
o Mengisyarahkan setiap satuan yang bisa dicakup lafal menurut bahasa
o Menunjuk seluruh satuan dalam kondisi terbatas
(Catatan: ada “al” lil ahdi dan “al” liljinsi)
• Mema’rifatkan dengan idhafah
o Sebagai cara singkat menghadirkan musnad ilaih di hati pendengar
o Menghindarkan kesulitan membilang-bilang
o Keluar dari tuntutan mendahulukan sebagian atas sebagian yang lain
o Mengagungkan mudhaf dan judhaf ilaih
o Meremehkan
• Mema’rifatkan dengan nida’
o Bila tanda-tanda khusus tidak dikenal oleh mukhatthab
o Mengisyarahkan kepada alasan untuk sesuatu yang diharapkan
D. MENAKIRAHKAN MUSNAD ILAIH
• Menunjukkan jenis
• Menunjukkan banyak
• Menunjukkan sedikit
• Merahasiakan perkara
• Untuk makna mufrad
• Menjelaskan jenis/macam
E. MENYEBUT MUSNAD ILAIH
• Al-idhah wat tafriq (menjelaskan dan membedakan)
• Ghabwatul mukhatthab (menganggap mukhatthab tdk tahu)
• Taladzdzudz (senang menyebutnya)
F. MEMBUANG MUSNAD ILAIH
• Untuk meringkas
• Terpeliharanya lisan ketika menyebut
• Li al-hujnah (merasa jijik menyebutnya)
• Li at-tamiim (generalisasi)
• Ikhfaul amri an ghairi mukhatthab (menyembunyikan musnad ilaih kepada selain mukhatthab)
IHWAL KALAM KHABARI
• Kalam adalah untaian kata yang memiliki pengertian yang lengkap. Dalam konteks ilmu balaghah kalam ada dua jenis: (1) kalam khabari dan (2) kalam insya’I
• Kalam khabari ialah kalimat yang mengandung kemungkinan benar atau tidak benar.
A. Tujuan Kalam Khabari
• Faidah al-khabar: untuk orang yang belum tahu sama sekali
• Lazimal Faidah: untuk orang yang sdh mengerti isi dari pembicaraan
Pengembangannya, untuk tujuan:
• Istirham (minta dikasihi)
• Idhar al-dha’fi ( memperlihatkan kelemahan)
• Idhar al-tahassur (memperlihatkan penyesalan)
• Al-fakhr (kesombongan)
• Dorongan kerja/berbuat keras
B. Jenis-jenis Kalam Khabari
• Mukhatthab yang belum tahu (khaalidz dzihni) – ibtida’i
• Mukhatthab ragu-ragu (mutariddid adzdzihni) - thalabi
• Mukhatthab yang menolak (inkari) – inkari
C. Deviasi Kalam Khabari
• Kalam thalabi digunakan untuk mukhatthab khaalidz dzihni
• Kalam ibtida’I digunakan untuk mukhatthab inkari
KALAM INSYA’I
• Kalam insya’I adalah suatu kalam yang setelah ucapan itu dituturkan tidak bisa dinilai benar atau dusta. Kalam insya’I merupakan kebalikan kalam khabari.
• Kalam insya’i: (1) insya’I thalabi: amar, nahyu, istifham, tamanni, dan nida’, (2) insya’I ghair thalabi: ta’ajjub, madz al-Dzamm, qasam, kata-kata yang diawali af’alur raja. Yg kedua ini tdk masuk bahasan ilmu ma’ani
A. Amar
• Amar adalah tuntutan untuk mengerjakan sesuatu dari yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah. Adat untuk amr adalah dengan:
o fi’il amr,
o fi’il mudhari yang disertai lam amr,
o isim fi’il amar, dan
o mashdar pengganti fi’il.
B. Nahyu
• Nahyu adalah tuntutan meninggalkan sesuatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi. Adat nahyu adalah:
o Fiil mudhari’ yang sebelumnya dimasuki lam nahyi
C. Istifham
• Istifham adalah menuntut pengetahuan tentang sesuatu. Adat yang bisa digunakan:
o Hal
o A
o Ma
o Man
o Mata
o Ayyana
o Kaifa
o Aina
o Anna
o Kam
o ayyu
• Hamzah sebagai adat istifham mempunyai dua makna:
o Tashawwuri: jawaban yang bermakna mufrad. Ungkapan istifham yang meminta pengetahuan tentang sesuatu yang bersifat mufrad = istifham tasawwuri
o Tashdiq: penisbatan sesuatu atas yang lain
• Man = untuk menanyakan orang
• Ma = untuk menanyakan sesuatu yang tidak berakal. Untuk meminta penjelasan tentang sesuatu atau hakikat sesuatu
• Mata = digunakan untuk meminta penjelasan tentang waktu (lampau maupun sekarang)
• Ayyaana = digunakan untuk meminta penjelasan mengenai waktu yang akan datang. Kata ini biasanya digunakan untuk menantang
• Kaifa = digunakan untuk menanyakan keadaan sesuatu
• Aina = digunakan untuk menanyakan tempat
• Hal = untuk menanyakan penisbatan sesuatu pada yang lain (tashdiq) atau kebalikannya. Mutakallim tdk mengetahui nisbah atau musnad dan musnad ilaihnya. Adat hal tdk bisa masuk ke dalam nafyu, mudhari makna sekarang, syarat, huruf athaf. Sedang hamzah bisa.
• Anna = (1) maknanya sama dengan kaifa, (2) bermakna aina, (3) maknanya sama dengan mata
• Kam = merupakan adat istifham yang maknanya menanyakan jumlah yang masih samar. Juga untuk menanyakan hal yang berkaitan dengan waktu, tempat, keadaan, jumlah, baik yang berakal maupun yang tidak
• Ayyu = digunakan untuk menanyakan dengan mengkhususkan salah satu darai dua hal yang berserikat.
• Deviasi Istifham:
o Untuk maksud amar
o Untuk maksud nahyu
o Untuk maksud taswiyah (menyamakan dua hal)
o Untuk maksud nafyu (negasi)
o Untuk maksud inkar (penolakan)
o Untuk maksud tasywiq (mendorong)
o Untuk maksud penguatan
o Untuk maksud ta’dzim (mengagungkan)
o Untuk maksud tahqir (merrendahkan)
o Untuk maksud taajjub (mengagumi)
o Untuk maksud Alwa’id (ancaman)
o Untuk maksud tamanni (harapan yang tak mungkin terkabul)
D. Nida’ = Panggilan
• Nida adalah tuntutan mutakallim yang menghendaki seseorang agar menghadapnya. Adat yang biasa digunakan untuk memanggil adalah: a, ay, ya, aa, aai, ayaa, hayaa, dan waa
• a dan ay untuk munada yang dekat
• selainnya untuk munada yang jauh
• khusus untuk yaa bisa untuk yang dekat maupun yang jauh
• Kadang-kadang munada yang jauh digunakan adat nida a atau ay (karena dianggap ada kedekatan hati)
• Kadang-kadang munada yang dekat dianggap jauh (karena bisa dianggap ketinggian munada, atau kerendahan martabat, kelalaian, kebekuan hati)
• Penyimpangan makna nida:
o Untuk anjuran, mengusung, mendorong, menyenangkan
o Teguran keras/mencegah
o Penyesalan, kresahan, kesakitan
o Mohon pertolongan/istighotsah
o Ratapan/mengaduh
o Minta belas kasihan
o Merasa sayang, menyesal
o Keheranan atau kekaguman
o Bingung dan gelisah (tidak puas, tdk sabar, bosan)
o Mengingat-ingat
o Mengkhususkan (menuturkan isim zhahir setelah isim dhamir dengan tujuan menjelaskannya. Ini mempunyai tujuan: (1) tafakhur = membanggakan, (2) tawadhu’ = rendah hati.
E. Tamanni
• Tamanni (berangan-angan) adalah kalimat yang berfungsi untuk menyatakan keinginan terhadap sesuatu yang diskai tetapi tidak mungkin untuk dapat meraihnya
• Menurut istilah balaghah: menuntut sesuatu yang diinginkan, akan tetapi tidak mungkin terwujud. Ketidakmungkinan terwujudnya sesuatu itu bisa terjadi karena mustahil terjadi atau juga sesuatu yang mungkin akan tetapi tidak maksimal dalam mencapainya. Juga ungkapan yang mungkin terwujud tetapi tidak terwujud karena tidak berusaha secara maksimal.
FASHL DAN WASHL
• Fashl secara leksikal bermakna ‘memotong, memisahkan, memecat, menyapih’. Secara terminologi adalah tidak mengathafkan suatu kalimat dengan kalimat lainnya
• Washl secara leksikal bermakna ‘menghimpun atau menggabungkan’. Secara terminologis adalah mengathafkan satu kalimat dengan kalimat sebelumnya melalui huruf athaf
• Fashl digunakan pada tiga tempat:
• Jika antara kalimat pertama dan kedua terdapat hubungan yang sempurna. Kalimat kedua berfungsi sebagi taukid atau penjelas, atau badal bagi kalimat yang pertama,
• Antara kalimat pertama dan kedua bertolak belakang
• Kalimat kedua sebagai jawaban bagi yang pertama
• Washl digunakan pada tiga tempat:
• Keadaan i’rab antara kedua kalimat sama
• Adanya kekhawatiran timbulnya kesalahpahaman jika tidak menggunakan huruf athaf
• Kedua jumlah sama-sama khobari atau sama-sama insya’i dan mempunyai keterkaitan yang sempurna
QASHR
• Qashr secara leksikal bermakna ‘penjara’. Secara terminologis adalah mengkhususkan sesuatu atas yang lain dengan cara tertentu
• Qashar memiliki empat unsur:
o Maqshur (berbentuk sifat atau maushuf)
o Magshur alaih (berbentuk sifat atau maushuf)
o Maqshur anhu yaitu sesuatu yang berada di luar yang dikecualikan
o Adat qashr.
LAA YAFUUZU ILLA AL-MUJIDDU.
YAFUUZU = MAQSHUR; AL-MUJIDDU = MAQSHUR ALAIH;
SELAIN AL-MUJIDDU = MAQSHUR ANHU; LA DAN ILLA = ADAT
QASHR
A. Jenis-jenis Qashr
• Dilihat dari aspek hubungan antara pernyataan dengan realitas:
o Qashr hakiki: apabila antara makna dan esensi dari pernyataan tsb menggambarkan sesuatu yg sebenarnya. Pernyataan tsb bersifat universal, tdk bersifat kontekstual, dan diperkirakan tdk ada pernyataan yg membantah atau pengecualian lagi setelah pernyataan tsb. (LAA ILAAHA ILLA ALLAH)
o Qashr idhafi: ungkapan qashr bersifat nisbi. Pengkhususan maqshur alaih pada ungkapan qashr ini hanya terbatas pada maqshurnya, tidak pada selainnya (WAMAA MUHAMMADUN ILLA RASUL QAD KHALAT MIN QABLIHIR RUSUL)
• Dilihat dari dua unsur utamanya (maqshur dan maqshur alaih):
o Qashar sifat ala maushuf (Sifat dikhususkan hanya untuk maushuf)
o Qashr maushuf ala sifah (maushuf hanya dikhususkan untuk sifat)
Catatan: sifat di sini adalah ma’nawiyah; bukan isim sifat dalam konteks nahwu.
B. Teknik Penyusunan Qashr
• Menggunakan kata-kata yg secara langsung menggambarkan pengkhususan (menggunakan kata qashr dan khushush)
• Menggunakan dalil di luar teks, seperti pertimbangan akal, perasaan indrawi, pengalaman, atau berdasarkan prediksi yang didukung oleh indikator-indikator tertentu.
• Menggunakan adat qashar:
o An-nafyu wal istitsna’ (negasi dan pengecualian
o Innama (hanya saja)
o Athaf dengan huruf la, bal, lakinna
- Laa bermakna mengeluarkan ma’ thuf dari hukum yg berlaku untuk ma’thuf alaih. Posisi maqshur dan maqshur alaih sebelum huruf athaf “laa”. Penggunaan laa untuk menqashar hrs memenuhi syarat: (1) ma’thufnya mufrad bkn jumlah, (2) didahului oleh ungkapan ijab, amar, atau nida’ (3) ungkapan sebelumnya tidak membenarkan ungkapan sesudahnya
- Kata “bal” = dalam qashr bermakna idhrab (mencabut hukum dari yang pertama dan menetapkan kepada yang kedua). Posisi maqshur alaih nya terletak setelah kata “bal”. Syarat-syarat: (1) ma’thuf bersifat mufrad, bkn jumlah, (2) didahului oleh ungkapan ijab, amar, atau nida.
- Kata “lakinna” menjadi adat qashar berfungsi sebagai istidrak. Kata ini sama fungsinya dengan “bal”
IJAZ, ITHNAB, DAN MUSAWAH
• Ijaz secara leksikal bermakna ‘meringkas’. Secara istilah dalam balaghah: mengumpulkan makna yang banyak dengan menggunakan lafal yang sedikit
• Efisiensi kalimat (ijaz) ada dua cara:
o Qashar = meringkas
o Hadzaf = membuang (bisa huruf, kata, frase, atau beberapa kalimat)
• Ithnab secara leksikal bermakna ‘melebih-lebihkan’. Secara istilah menambah lafal atas maknanya. Atau mendatangkan makna dengan perkataan yang melebihi apa yang telah dikenal oleh banyak orang
• Lima bentuk ithnab:
o Menyebutkan yang khusus setelah yang umum
o Menyebutkan yang umum setelah yang khusus
o Menjelaskan sesuatu yg umum
o Pengulangan kata atau kalimat
o Memasukkan sisipan
• Musawah secara leksikal bermakna ‘sama’ atau ‘sebanding’. Secara terminologi adalah pengungkapan suatu makna melalui lafal yang sepadan, tidak menambahkan dan tidak mengurangkan.
Ilmu Ma'ani
3:29 PM
Rizky Garut